Seorang yang pikirannya sehat biasanya memiliki kecenderungan untuk memprosea hal-hal yang saat itu ia sedang amati, baik hal-hal di dunia luar seperti tukang bakso tapi kok bawa walkie-talkie, atau petugas lalu lintas yang bersembunyi di belakang tiang lampu merah, dan bisa juga hal-hal internal dalam pikiran seperti soal hutang teman, rencana kencan besok, ataupun (dan paling sering) segala hal acak yang pernah terjadi di masa lampau. Namanya juga pernah terjadi, ya…
Dari semua hal-hal tersebut, pengamatan yang justru paling banyak, paling sering, dan paling nggak berguna menyita pikiran kita adalah memikirkan masa lampau.
Berdasarkan prinsip termodinamika kedua, sistem bergerak ke keadaan yang meningkatkan entropi semesta, sehingga mustahil bagi seseorang untuk membalik arah aksi suatu sistem. Pendeknya, yang susah terjadi, sudah terjadi. Nggak bakal balik kayak pesawat batal take-off di film Warkop.
Jadi sudah jelaslah bahwa memikirkan masa lampau tidak bisa mengubah masa lampau. Terus kenapa dong?
Manusia adalah makhluk biologis yang sudah bertahan selama puluhan atau malahan ratusan ribu tahun. Sejauh ini kita bertahan karena kita mengembangkan kemampuan di dalam empat aspek: berlari, bertarung, mengumpulkan makanan, dan bereproduksi. Memikirkan masa lampau dapat dimanfaatkan untuk mengemaskan kemampuan salah satu dari keempat aspek di atas.
Zaman dahulu bertahan hidup skill susah, jadi wajar kalau kita mengingat, menganalisis hal-hal yang kita lakukan, dan memformulasikannya untuk pengembangan skill sedemikian sering. Tapi sekarang, rasanya malah jadi bikin eneg sendiri. Tidak sedikit yang harus psychotherapy untuk menghentikan berpikir tentang masa lampau menyita seluruh sumber daya kita.
Maka, inilah proposal saya, yang sama sekali tidak ada background psycholog, untuk membantu mengatasi hal tersebut: Ya terus kenapa?
Kamu cepirit di celana. Teman-teman kamu menertawai kamu. Terus kenapa?
Kamu lupa bawa tugas kuliah sehingga nilai kamu semester ini turun jadi B. Terus kenapa?
Kamu salah masuk pintu tol sehingga perjalanan agak berputar. Ya terus kenapa?
“Ya terus kenapa?” tidak mengecilkan pentingnya kekhawatiran kita karena perbuatan di masa lalu, tetapi dengan demikian kita memberi jeda di pikiran kita agar setelahnya cukup kognitif kita yang menjawab, bukan hati kita.
Tiga kata itu melindungi perasaan kita dari pikiran kita yang memang normalnya melaksanakan tugas menganalisis masa lampau, dan menganggap hal tersebut sebagai hanya analisis. Kamu berargumen, argumen kamu benar, dia tersinggung karena hal itu, terus? Dia tersinggung bukan salah kita, asalkan kita memang berargumen dengan benar. “Oh tapi dia temen,” berarti kita juga ingin dia merasa lebih baik, kita bisa minta maaf karena membuat dia merasakan ketersinggungan. Bisa juga nggak, karena itu bukan salah kita, dan kita melihat bahwa begitulah orang berargumen di media sosial.
“Ya terus? Gua sakit hati. Oh gua sakit hati…” lalu hibur diri sendiri bahwa kita cuma manusia, sakit hati itu perasaan, asal jangan kita bertindak salah. Atau kita lalu bertindak salah, orang marah. “Ya terus?” Lagi, kita bisa minta maaf, atau kalau merasa itu bukan gaya kita simply jalani hidup. “Aduh, batin nggak enak nih.” Ya terus? Yaudah gua juga nggak ngerasa gengsi gimana, skuy lah kita ngajak baikan.
Begitu semua kejadian ditanggapi dengan “Ya terus?” lalu disusul dengan memisahkan tindakan dan perasaan, kekhawatiran kita dapat dikendalikan.
Lagi, dikendalikan. Tidak harus berkurang, tapi terkendali.
Lanjutan “Ya terus?” juga bisa bukan merupakan lanjutan solusi, tapi “Ah lagi capek, bisa nih istirahat sebentar” (tapi kalau memang genting sebaiknya dilanjutkan, karena menghindar bukan bentuk pengendalian diri. Tapi jujur, seberapa sering mengingat-ingat masa lalu sifatnya genting?).
Intinya mah, ya gitu. Ya terus kenapa?